Majalahketik.com(02/03/2020) – Siapa pun pasti sepakat bahwa semua yang ada di dunia memang terbagi dalam beberapa kelompok dan golongan, kecuali satu hal: UKT di kampus saya.
Pernyataan di atas memang hanya kiasan mengenai UKT di kampus saya yang sampai saat ini masih dipukul rata sebesar 4,5 juta untuk D-3 dan 6 juta untuk D-4. Beberapa minggu lalu ketika akan membayar heregistrasi, saya sadar bahwa tidak seharusnya saya membayar sebesar itu. Tidak ada pengelompokan, tidak sesuai dengan ekonomi keluarga. Itulah yang saya pikirkan. Beruntung, dengan berbagai cara akhirnya saya bisa melakukan heregistrasi meski harus melihat betapa sedihnya raut wajah orang tua mencari pinjaman.
Lalu, bagaimana dengan teman-teman yang tidak seberuntung saya? Ya, mereka terancam cuti dan DO, begitu menurut buku peraturan di kampus saya. Siapa pun yang tidak bisa melakukan heregistrasi maka harus rela menggantungkan cita-citanya. Bahkan yang lebih menyedihkan, mereka yang telat membayar harus dikenakan denda sebesar 25 persen. Hal-hal inilah yang memicu saya dan beberapa teman lainnya sepakat bahwa sudah semestinya UKT terbagi dalam beberapa kelompok sesuai kemampuan ekonomi. Kami sampai pada kesimpulan: pengelompokan UKT adalah solusi.
Terkadang memang sulit membedakan mana yang tidak bisa membayar karena permasalahan ekonomi dan yang tidak bisa karena uangnya dipakai sendiri. Saya tidak memungkiri pasti ada satu atau lebih mahasiswa yang sebenarnya sudah ada uang untuk membayar, namun malah digunakan untuk kepentingan lain. Tapi saya tidak sepakat bahwa mereka yang tidak bisa membayar karena permasalahan ekonomi harus berhenti kuliah. Hal ini tidak sejalan dengan UUD yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Akhirnya setelah konsolidasi, beberapa minggu lalu Ormawa sepakat memberikan rilis pernyataan kepada pihak kampus. Terdapat beberapa poin di dalamnya, seperti pemunduran tenggat waktu, pengurangan biaya bagi yang tidak mampu membayar heregistrasi, menolak penerapan kebijakan denda 25 persen, serta mengusulkan pengelompokan UKT agar diterapkan di penerimaan mahasiswa baru. Rilis pernyataan ini juga dilengkapi dengan Kajian Pendidikan BEM 2018. Permasalahan rilis ini belum selesai, kabar terakhir yang saya dengar, Ormawa harus merilis permintaan maaf di sosial media karena mencemarkan nama baik salah satu individu. Lalu bagaimana kelanjutannya?
Lika-liku Pengelompokan UKT
Sebagai PTN yang sudah berdiri kurang lebih sepuluh tahun, saya rasa kampus ini sudah seharusnya menerapkan UKT kelompok sebagaimana tercantum pada berbagai peraturan. Apabila merujuk pada Keputusan Menristekdikti Nomor 194/M/KPT/2019 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada PTN di Lingkungan Kemenristekdikti Tahun Angkatan 2019, maka kampus saya seharusnya menerapkan UKT kelompok. Jelas tertera pada salinan keputusan tersebut bahwa ada 7 kelompok UKT dari yang terendah Rp500.000 sampai yang tertinggi adalah Rp6.000.000. Dapat dilihat bahwa UKT pukul rata di kampus saya termasuk dalam kelompok tertinggi, yaitu kelompok VI dan VII. Ditambah lagi pada Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 pasal 1 ayat 4 dijelaskan bahwa UKT adalah biaya yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Hal yang patut digarisbawahi adalah kata-kata “Berdasarkan kemampuan ekonominya”. Hal ini seharusnya sudah menjadi landasan kuat mengapa UKT kelompok haarus diterapkan di kampus.
Sampai saat ini, kampus saya belum berstatus PTN-BH seperti kampus besar lainnya, yang berarti otonominya pun belum sebebas UI, UGM, ataupun IPB. Lalu mengapa kampus ini tidak menerapkan UKT kelompok? Sebenarnya isu ini sudah turun-temurun diwariskan oleh Ormawa di kampus saya, khususnya BEM. Setiap periode selalu mengadvokasi mengenai UKT kelompok dan tetap saja mentah. Bahkan jejak digital membuktikan pada tanggal 2 Agustus 2017 sudah ada kesepakatan antara Ormawa dan pihak manjemen mengenai UKT Kelompok. Menurut postingan press release di akun intagram BEM, penggolongan UKT semester baru mulai diberlakukan, yang artinya di angkatan 2018 seharusnya sudah menerapkan UKT kelompok tersebut. Postingan ini masih dapat di cek di akun instagram BEM kampus saya.
Tahun berlalu begitu saja, bahkan sampai detik ini UKT kelompok masih belum diterapkan. Apa alasannya? Mengapa pihak kampus tidak bisa menerapkan? Ke mana saja selama ini? Hanya ada satu alasan yang sampai ke telinga saya, saya mendapat kabar salah satu alasannya karena mahasiswa di kampus saya mayoritas berstatus ekonomi menengah ke bawah. Jadi tidak saling menutupi. Apakah alasan ini kuat? Saya rasa tidak. Negara kita berlandaskan hukum dan peraturan. Saya rasa sudah seharusnya kampus menyelesaikan alasan yang mereka buat dan mengikuti Permenristekdikti dan UU yang ada. Jangan sampai karena satu alasan, hal ini berlarut-larut dan menjadi isu utama yang terus dibahas tiap tahunnya. Masih banyak yang harus diselesaikan di kampus yang masih seumuran anak SD ini.
Bagi saya, keresahan ini seharusnya sudah menjadi keresahan seluruh mahasiswa, bukan hanya Ormawa. Kita seharusnya mendapatkan hak dan kewajiban sesuai porsinya! Tulisan ini hanyalah opini seorang mahasiswa bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Akan sangat menarik jika tulisan ini dapat diperdebatkan dengan argumen lain. Ya, syukur-syukur ada penjelasan terhadap segala pertanyaan tadi.
Beberapa minggu lalu ketika akan membayar heregistrasi saya tersadar, semua terbagi dalam beberapa kelompok kecuali UKT di kampus saya, bukan?
Note: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis. Segala tulisan adalah tanggung jawab penulis.
Penulis : Andika Pratama Putra
Editor : Alifianisa Andary