Ramai-Ramai Masyarakat Dibuat Resah dengan RUU TNI, Apa Sebenarnya RUU TNI?
Revisi undang-undang Tentara Nasional Republik Indonesia (UU TNI) dan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik indonesia (UU Polri) merupakan upaya pemerintah untuk memperbarui regulasi yang mengatur peran dan fungsi TNI serta polri sesuai dengan perkembangan zaman. Tujuannya adalah memperkuat profesionalisme dan efektivitas kedua institusi tersebut dalam menjalankan tugasnya. Banyak golongan masyarakat yang menolak keras revisi UU TNI karena akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI, di mana prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil. Hal ini dianggap dapat memicu batas antara peran militer dan sipil, yang sebelumnya telah dihapus pasca-Reformasi 1998.
Salah satu perubahan signifikan yang diusulkan dalam revisi UU TNI adalah perluasan peran prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Jika sebelumnya jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif dibatasi pada 10 kementrian dan lembaga, revisi ini mengusulkan penambahan frasa “serta kementrian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.” Penambahan ini dikhawatirkan dapat membuka peluang interpretasi yang lebih luas, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai ranah kementrian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya.
Berikut ini adalah daftar 15 Kementerian atau lembaga yang bisa diduduki oleh prajurit TNI aktif, jika RUU TNI telah disahkan:
1. Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara
2. Pertahanan Negara
3. Sekretaris Militer Presiden
4. Inteligen Negara
5. Sandi Negara
6. Lemhannas
7. Dewan Pertahanan Nasional
8. SAR Nasional
9. Narkotika Nasional
10. Kelautan dan Perikanan
Tambahan:
11. BNPB
12. BNPT
13. Keamanan Laut
14. Kejaksaan Agung
15. Mahkamah Agung
Selain itu proses pengesahan revisi UU TNI yang kurang transparan dan minimnya keterlibatan publik menimbulkan kekhawatiran akan potensi ancaman terhadap demokrasi dan penegakan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Masyarakat sipil menilai bahwa perluasan peran militer dalam ranah sipil dapat melemahkan profesionalisme militer.
Ada beberapa alasan mengapa masyarakat menolak keras revisi UU TNI dan polri yang dianggap menghilangkan peran warga sipil:
- Potensi kembalinya Dwifungsi Militer
Revisi ini memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil. Hal ini dikhawatirkan menghidupkan kembali konsep Dwifungsi ABRI seperti pada masa orde Baru, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga dalam politik dan pemerintahan.
- Mengancam Supremasi Sipil
Dalam sistem demokrasi, militer harus berada di bawah kendali otoritas sipil. Dengan revisi ini, ada risiko militer memiliki pengaruh yang lebh besar di pemerintahan, yang bisa mengurangi kontrol sipil atas kebijakan negara.
- Pelemahan Reformasi 1998
Setelah reformasi, Indonesia berusaha memisahkan peran militer dan kepolisian serta membatasi peran militer dalam urusan sipil. Revisi ini dianggap sebagai langkah mundur yang berpotensi menghapus kemajuan yang telah dicapai sejak reformasi.
- Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Semakin luasnya peran TNI dalam jabatan sipil, bisa membuka peluang penyalahgunaan wewenang. Ada kekahawatiran bahwa prajurit aktif yang ditempatkan di lemabaga sipil bisa lebih berpihak pada kepentingan tertentu dibandingkan kepentingan publik.
Revisi UU TNI dan polri ini bisa berdampak besar terhadap sistem pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat perlu terus memantau dan mengkritisi kebijakan ini agar tetap sesuai dengan semangat reformasi dan supermasi Masyarakat juga menolak secara tegas pengesahan revisi UU TNI dan Polri, yang bisa mengakibatkan lemahnya peran TNI di ranah militer.
Teks: Hanum Ayu Lestari
Editor: Okky Tri Nugroho
Referensi
Diakses pada Selasa 18 Maret 2025
Diakses pada Selasa 18 Maret 2025
(Artikel) https://www.kompas.id/artikel/revisi-uu-tni-polri?utm_source=chatgpt.com
Diakses pada Selasa 18 Maret 2025