Listen

Ramah Disleksia

A

A

Nama Medpart

Kontroversi Pasal-pasal RUU KUHAPyang Berpotensi Melemahkan Penegakan Hukum

Sumber_ icjr.or.id

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang disebut akan merevolusi sistem peradilan pidana di Indonesia. Sejumlah perubahan besar ditawarkan dalam rancangan seperti kehadiran hakim komisaris, aturan rekaman interogasi, hingga perluasan keadilan restoratif. Beberapa pakar hukum dan aktivis menilai bahwa revisi ini akan berdampak langsung pada hak-hak masyarakat, baik sebagai tersangka, korban, maupun warga negara yang berhadapan dengan hukum.

Salah satu dampak yang paling nyata dari RUU ini adalah meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka sejak proses penyidikan awal. Kehadiran hakim komisaris dan kewajiban rekaman interogasi memberi jaminan bahwa proses hukum berjalan lebih transparan dan akuntabel, serta mengurangi risiko penyiksaan maupun kriminalisasi. Di sisi lain, korban juga diuntungkan dengan penguatan keadilan restoratif, yang membuka ruang penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat kompensasi dipenuhi. Namun demikian, ada kekhawatiran bahwa jika tidak diawasi dengan ketat, mekanisme ini bisa menjadi bumerang sebagai celah praktik jual-beli perkara atau memperlemah sanksi pidana terhadap perilaku yang harus dihukum lebih tegas.

Terlebih lagi, jaminan keselamatan saksi dan korban masih lemah. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi korban karena takut bersaksi sebab, tidak adanya jaminan keselamatan. Jika tidak diatur, rakyat biasa menjadi korban dan hanya yang mampu membayar advokat akan mendapatkan keuntungan.

Berikut perubahan utama dalam RUU KUHAP serta dampak positif dan negatif-nya bagi masyarakat:

  1. Penambahan Peran Hakim Komisaris
    Hakim komisaris bertugas mengawasi tindakan aparat penegak hukum (penangkapan, penggledahan, penyitaan, dll) agar sesuai prosedur hukum. Dampak positifnya, masyarakat yang berurusan dengan hukum, terutama sebagai tersangka mendapat pengawasan tambahan terhadap aparat, sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang oleh penyidik. Namun, hal ini juga mengkhawatirkan masyarakat jika tidak dilakukan secara independen dan transparan, fungsi pengawasan hakim komisaris berisiko hanya jadi simbol tanpa efektivitas.
  2. Kewenangan Penyidikan oleh TNI
    TNI diusulkan diberi wewenang menyidik tindak pidana umum tertentu. Beberapa kasus seperti penyelundupan senjata, terorisme, atau ancaman terhadap keamanan negara dinilai lebih efisien ditangani TNI karena keterlibatan aspek militer. Namun, ini menuai banyak kritik karena dianggap mengancam prinsip supremasi sipil dan bisa membuka ruang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
  3. Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
    Masyarakat, terutama pelaku dan korban dari kasus ringan, bisa menyelsaikan perkara secara damai diluar pengadilan. Ini bisa mempercepat penelsaian kasus dan menghindari stigma hukum. Tapi tanpa pengawasan yang ketat, bisa muncul tekanan terhadap korban atau penyalahgunaan oleh pihak kuat agar kasus “didamaikan”.
  4. Perekaman Pemeriksaan Tersangka
    Proses pemeriksaan wajib direkam dengan audio/video untuk menghindari paksaan atau penyiksaan, ini dinilai sebagai langkah progresif untuk menjaga hak asasi tersangka. Namun ini juga menyulitkan proses hukum masyarakat di daerah yang belum punya akses internet atau teknologi memadai.
  5. Masa Penahanan Diperpendek
    Ada penyesuaian durasi penahanan pada tiap tahap: penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Orang yang ditahan tidak akan terlalu lama menunggu proses hukum. Ini membantu menghindari tahanan sewenang-wenang dan mempercepat keadilan, terutama bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membayar penjaminan. Namun, jika batas waktu penahanan habis dan berkas belum lengkap, tersangka bisa bebas demi hukum (bukan karena tidak bersalah tapi karena waktunya habis).
  6. Penguatan Hak Tersangka dan Terdakwa
    Masyarakat yang menjadi tersangka kini mendapat perlindungan lebih sejak awal, seperti hak untuk diam, hak atas pengacara, dan hak tahu alasan penangkapan. Ini memperbaiki posisi warga dalam sistem peradilan agar tidak mudah dikriminalisasi. Namun, hak untuk didampingi penasihat sejak awal, hak diam, dan larangan interogasi tanpa pengacara bisa membuat penyidik memiliki ruang gerak yang terbatas.
  7. Diversi untuk Anak
    Anak-anak dari masyarakat umum yang terlibat perkara hukum bisa menyelsaikannya diluar pengadilan, menghindari penjara dan memberi kesempatan rehabilitasi. Namun hal ini juga menuai kontra diantaranya adalah berpotensi melemahkan rasa keadilan korban, jika sistem pembinaan sosialnya lemah, anak yang mendapat diversi bisa kembali melakukan tindak pidana.
  8. Digitalisasi dan Dokumen Elektronik
    Masyarakat akan lebih mudah mengikuti proses hukum secara digital, seperti sidang daring, kirim dokumen, dan pemantauan kasus secara online. Tapi ini tetap menuntut kesiapan infrastruktur dan literasi hukum, dan juga memiliki risiko peretasan dan kebocoran data, sistem elektronik yang belum matang bisa disusupi, dokumen hukum penting bisa bocor atau disalahgunakan.

RUU KUHAP menawarkan rangkaian perubahan pro-hak asasi manusia dan masyarakat sipil. Namun, kunci suksesnya yaitu implementasi yang jelas dan pengawasan independen, agar keadilan restoratif tidak hanya sekadar jargon dan aparat tidak menyalahgunakannya. Keterlibatan berbagai lembaga serta akses publik terhadap proses pembahasan dan praktiknya sangat menentukan.


Referensi

https://www.hukumonline.com/berita/a/5-substansi-ruu-kuhap-ini-patut-disorot–penyidik-dilarang-umumkan-penetapan-tersangka-lt687127ac25701

Diakses pada 24 Juli 2025

https://ntb.kemenkum.go.id/berita-utama/wamenkum-eddy-jelaskan-urgensi-pemberlakuan-kuhap-yang-baru?utm_source

Diakses pada 24 Juli 2025

https://www.hukumonline.com/berita/a/mempertanyakan-bukti-elektronik-sebagai-alat-bukti-dalam-kasus-pidana-lt667b57ba9f459/?utm_source=

https://www.hukumonline.com/berita/a/keadilan-restoratif-dalam-ruu-kuhap–glorifikasi-pemulihan-atau-formalisasi-perdamaian-lt67e509e4df94d

Diakses pada 24 Juli 2025

TEKS: Hanum Ayu Lestari

EDITOR: Okky Tri Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts