Listen

Ramah Disleksia

A

A

Nama Medpart

Panggung Bebas Berekspresi Vol. 2, Angkat Tema September Hitam

Foto: Muhammad Rafly Hafidz

Jakarta, majalahketik.com – Badan Eksekutif Mahasiswa Sosial Politik (BEM Sospol) menggelar Panggung Bebas Berekspresi (PBB) pada Senin,15 September 2025, di Gedung E Hall Polimedia. Mengusung tema “September Hitam”, PBB menyuarakan ketidakadilan masa lalu, seperti pembunuhan aktivis 98 Munir Said Talim dan penculikan aktivis lainnya. Acara diisi dengan orasi mahasiswa, pembacaan puisi, pertunjukan seni, dan penampilan musik dari mahasiswa Polimedia.

Ketua Pelaksana PBB, Vicky Anandika Kesumahadi, menjelaskan bahwa Panggung Bebas Berekspresi penting diikuti mahasiswa karena menjadi wadah untuk menyuarakan keresahan mahasiswa yang sulit diungkapkan. “Setiap mahasiswa pasti memiliki keresahan yang tidak bisa diungkapkan, di PBB, keresahan itu bisa disuarakan,” ucap Vicky. 

Baca juga: Manajemen Polimedia Lakukan Renovasi tanpa Ganggu Kegiatan Akademik

Menurut Vicky, setiap pertunjukan mahasiswa juga memiliki makna tersendiri. “Kalau pertunjukannya bukan sekadar pertunjukan biasa, ada makna tersendiri juga, contohnya puisi, ada yang mengangkat tema September Hitam,” jelasnya.

Untuk mempertegas tema yang diangkat, PBB dihiasi dengan ornamen bertema September Hitam dan dilengkapi dengan banner ekspresi yang dapat digunakan mahasiswa sebagai wadah untuk menyuarakan keresahan mereka. Selain itu, terdapat juga aksi simbolik yang menggambarkan September Hitam.

Mahasiswa Periklanan, Wahyu Ramadhan Eka Saputra, menyebut September Hitam  bukan sekadar tragedi masa lalu, melainkan sesuatu yang perlu diingat dan terus disuarakan. “Kita harus terus mengangkat dan menyuarakan September Hitam itu sendiri,” jelas Wahyu.

Menurut Wahyu, kebebasan berekspresi bagi mahasiswa sangat penting karena mahasiswa memiliki peran dan fungsi besar, tidak hanya mengikuti sistem yang ada. “Mahasiswa memiliki peran sangat penting bagi masyarakat dan negara. Justru itu, paling penting kebebasan berekspresi.” tegasnya. 

Ia menambahkan, kebebasan berekspresi di lingkungan kampus kini semakin minim seiring kebijakan yang dianggap kurang adil bagi mahasiswa. “Jadi memang menurut saya, semakin kesini semakin minim untuk mahasiswa berekspresi,” ujarnya.

September Hitam merujuk pada peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia pada September 2004, ketika aktivis HAM Munir Said Thalib meninggal akibat diracun dalam perjalanan menuju Belanda. Kasus ini menjadi simbol gelapnya penegakan hukum dan kebebasan berpendapat di Indonesia, sebab hingga kini banyak pihak menilai bahwa dalang utama kematian Munir belum sepenuhnya diungkap. 

Istilah September Hitam kemudian meluas maknanya. Aktivis, mahasiswa, dan masyarakat sipil menggunakannya untuk memperingati berbagai peristiwa kekerasan, represi, dan pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September di tahun-tahun berbeda. Momentum ini menjadi ruang refleksi sekaligus pengingat bahwa kebebasan berekspresi dan hak asasi harus terus diperjuangkan.

Bagi mahasiswa, September Hitam bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga simbol dalam menyuarakan kebenaran dan menolak lupa terhadap keadilan yang terabaikan. September Hitam juga menjadi pengingat akan kasus pelanggaran HAM sekaligus menegaskan pentingnya solidaritas untuk memperjuangkan keadilan. Melalui momentum tersebut, generasi muda diingatkan agar tetap kritis dan menjaga ruang demokrasi tetap hidup.

REPORTER: HANUM AYU LESTARI

REDAKTUR: Intan Safitri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts