Halo, Sobat Ketik! Apa kabar? Semoga sehat fisik maupun mental selalu ya. Ngomong-ngomong soal kesehatan mental, pasti diantara Sobat Ketik pernah mendengar istilah ‘Toxic Positivity’ dan ‘Toxic Productivity’ ya?
Kata ‘toxic’ yang dalam bahasa Indonesia yaitu racun ini sering kali terdengar dalam istilah-istilah kesehatan mental seperti toxic parents, relationship, positivity dan productivity. Pada toxic parents menjelaskan mengenai hubungan antara anak dan orang tua, pada toxic relationship menjelaskan hubungan asmara antara pasangan.
Jika pada toxic positivity mengarah pada pemikiran positif yang beracun dan pada toxic productivity menjelaskan tentang produktif yang berlebihan sehingga tak pernah mengenal kata ‘lelah’. Secara sengaja maupun tidak sengaja pasti kita sering melakukan atau memperhatikan orang sekitar yang terus menyuruh untuk selalu berpikir positif dan ada pula orang yang giat bekerja namun kurang memperhatikan kebutuhan dirinya. Nah apabila selalu berpikiran positif juga perlu hati-hati lho, Sobat Ketik karena ini merupakan salah satu gejala kamu mengalami ‘Toxic Productivity’. Begitu juga untuk orang yang sering produktif tak kenal waktu, hati-hati juga ya terkena ‘Toxic Productivity’.
Baca Juga: Kebangun Jam 3 Pagi Gak Ada Kaitannya Sama Mistis, Ini Menurut Medis
Toxic positivity atau positif beracun adalah suatu keyakinan yang mengharuskan seseorang selalu berpikir positif tidak peduli separah dan sekacau apa kondisi dirinya. Kondisi ini merupakan emosi palsu yang mencoba menolak berbagai ungakapan (rasa) seperti kekecewaan, marah demi keceriaan.
Kepositifan beracun bisa bermula saat seseorang sedang merasa sedih atau frustasi dan ketika seseorang tersebut mengeluh atau mengekspresikan rasa kekecewaanya justru malah disuruh untuk terus ‘melihat sisi baik atau positif’ atau ‘selalu mensyukuri apa yang dimiliki’.
Melansir dari laman healthline.com seorang psikoterapis di Baltimore, Maryland mengatakan bahwa toxic positivity semacam tekanan untuk selalu tampil ‘OK’ dengan menghiraukan berbagai emosi yang dialami. Sikap ini menekanakan pentingnya optimisme namun menyangkal beragam emosi manusia yang belum tentu sedang bahagia. Dalam hidup kadang banyak kejadian-kejadian yang tidak disangka sehingga kita pasti akan mengalami respon dengan berbagai emosi.
Pemikiran toxic positivity ini juga dapat membuat seseorang akan terus yakin kepada dirinya sehingga akan abai untuk upgrade diri menjadi versi terbaik. Contohnya ialah jika seseorang memposting produktivitas maupun pencapaiannya di sosial media maka kita tidak boleh merasa cemas karena apa yang belum kita capai. Alih-alih terus berpikir positif karena setiap orang punya waktu berbeda-beda saat mendapat pencapaiannya, lebih baik kita fokus untuk melakukan hal yang kita sukai maupun tekuni.
Toxic Positivity ini dapat membahayakan orang-orang yang sedang mengalami masa sulit karena emosi alami yang menjadi respon akan sebuah peristiwa justru diabaikan. Berikut merupakan ciri-ciri saat tidak sengaja terjebak dalam kepositifan beracun:
- Merasa bersalah karena sedih, kecewa atau marah
- Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya
- Mencoba melupakan atau abai tentang emosi yang menyakitkan
Cara menghindarinya ialah:
- Bersikap realistis tentang apa yang sedang dirasakan
- Kelola emosi negatif
- Perhatikan perasaan diri sendiri
Berbeda dengan toxic positivity yang mengarah pada pemikiran positif yang beracun, pada toxic productivity ini lebih pada arah produktif yang beracun. Maksudnya ialah suatu kondisi dimana seseorang terus melakukan produktivitas sebagai hal yang utama dan melalaikan hal dasar seperti istirahat, makan, olahraga atau interaksi dengan orang-orang terdekat.
Melansir pada laman realsimple, seorang konselor berlisensi mengatakan bahwa banyak orang merasa lelah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan, contohnya ialah seseorang terus menerus melakukan panggilan telepon, rapat ecara daring atau hampir selalu memperhatikan laptop untuk pekerjaan.
Toxic productivity atau produktivitas yang beracun ini adalah seseorang yang setiap jamnya dihabiskan untuk produktif seperti membuat atau merancang suatu hal sesuai dengan kebutuhan pekerjaannya. Biasanya toxic productivity ini merupakan obsesi yang tidak sehat seseorang untuk terus melakukan produktif.
Produktivitas beracun ini sering dinilai dari harga diri berdasarkan jam kerja, atau uang yang dihasilkan. Beristirahat dianggap sebagai hal yang hanya membuang-buang waktu. Tugas kerja paling diprioritaskan daripada hal-hal mendasar seperti makan, istirahat, olahraga atau interaksi dengan orang-orang terdekat. Bila hal ini tidak dapat dikendalikan akan cenderung mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan diantarannya kelelahan, kecemasan dan depresi.
Cara keluar dari produktivitas beracun:
- Memanage waktu dengan cara menjadwalkan antara jam produktif dengan jam istirahat sehingga memiliki waktu untuk rehat
- Jangan terlalu memforsir diri apabila sudah sangat butuh istirahat karena bisa menggangu kesehatan fisik maupun mental
- Disiplin terhadap waktu istirahat dan produktif
Belajar skill baru dengan mudah di Myskill.id harga terjangkau plus dapat sertifikat lho! Banyak skill yang bisa dipelajari, mulai dari persiapan karir, mengejar beasiswa ataupun bekerja di industri digital. Tak hanya itu aja, Sobat Ketik pun bisa belajar bersama para ahlinya salah satu contoh ialah ‘bagaimana sih cara memperbaiki CV untuk karir kamu nantinya?’. Yuk tingkatkan kualitas skill dengan cara akses Myskill.id sekarang juga.
Jurnalis: Maria Alexandra Fedho
Referensi:
Cherry, Kendra. (2021). What is toxic positivity..
https://www.healthline.com/health/mental-health/toxic-positivity-during-the-pandemic
https://www.realsimple.com/health/mind-mood/stress/toxic-productivity