Doctor Strange in the Multiverse of Madness merupakan sekuel dari film pertamanya berjudul Doctor Strange yang dirilis pada tahun 2016. Bercerita selang tak berapa lama setelah peristiwa Spider-Man: No Way Home, Stephen Strange harus berhadapan dengan berbagai konsekuensi sulit dari pilihan yang dibuatnya. Salah satunya adalah kehadiran America Chavez (Xochitl Gomez), seorang remaja perempuan dari semesta lain yang sebelumnya hadir dalam mimpinya, kini secara tiba-tiba muncul di hadapannya.
America memiliki kekuatan yang unik, yaitu ia bisa menjelajahi multisemesta tanpa konsekuensi ataupun kesulitan sama sekali. Hal ini yang membuat dirinya sangat berbahaya dan diincar berbagai villain dari seluruh semesta ke dunia tersebut. Bertekad melindunginya dari kejaran Wanda (Elizabeth Olsen), Doctor Strange membawa America Chavez ke dalam petualagan yang berbahaya nan menegangkan dengan melintasi berbagai dunia di Multisemesta.
Konsep Multiverse atau Multisemesta mungkin bukanlah hal yang baru dalam kisah fiksi, baik dalam buku komik, novel, serial televisi, maupun film. Sebut saja d iantaranya Source Code (2011), The Man in the High Castle (2015-2019), Loki (2021), dan Dark (2017-2020). Namun, waralaba film Marvel Cinematic Universe (MCU) sukses meramu konsep yang mainstream tersebut ke dalam next level. Film ini juga membuat teori fisika yang pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Austria, Erwin Schrodinger, menjadi menarik.
Setelah kesuksesan Spider-Man: No Way Home, tentu saja ekspektasi dengan mengangkat tema tersebut cukup tinggi. Terlebih lagi dengan adanya berbagai macam teori liar di internet yang menyebut bahwa Multiverse of Madness merupakan salah satu film pamungkas yang pernah dirilis oleh MCU. Namun, apakah benar?
Konflik Rapi, Storytelling Ngebut
Dengan durasi yang ‘hanya’ menyentuh 2 jam 5 menit, Multiverse of Madness memiliki alur yang sangat cepat untuk sebuah cerita yang padat. Kita sebagai penonton disuguhi berbagai adegan aksi apik yang bahkan sudah dimulai sejak detik pertama film. Ini tentunya bukan merupakan hal yang buruk, terutama bagi mereka yang menyukai film dengan banyak adegan laga. Walaupun begitu, film ini justru menyajikan sebuah cerita yang ringan dengan skrip yang cenderung membosankan. Storytelling yang terlalu ngebut memberi ruang sempit pada penonton untuk mencerna adegan yang tampil di layar. Padahal, konflik film ini sudah cukup terbangun rapi melalui motivasi Wanda dengan latar belakang yang tragis dan gagal move on karena terjebak halusinasinya untuk menciptakan keluarga khayalan dari sihirnya sendiri. Sayang sekali plotnya sedikit berantakan dan terkesan melompat-lompat sehingga membuat pengembangan ceritanya menjadi tidak matang dan karakterisasinya terasa kurang hidup, tidak serapi Shang-Chi and The Legends of Ten Rings atau Spider-Man: No Way Home.
10% Formula MCU, 90% Formula Raimi
Beruntungnya, visual yang disajikan masih memanjakan mata dan scoring music Danny Elfman yang menggugah berhasil menyelamatkan Multiverse of Madness agar tidak jatuh ke daftar jurang film-film solo MCU yang mungkin forgettable dengan formula yang basi. Direksi Sam Raimi yang diberi kebebasan penuh dalam menggarap film ini menjadikannya salah satu film MCU terunik dengan warna yang berbeda secara audio visual dan tidak mengikuti rumus MCU yang khas.
Melalui tangannya yang terkenal lewat sentuhan horornya seperti Evil Dead dan Drag Me to Hell, film ini tak hanya gila secara konsep, tetapi juga sarat akan elemen horor yang eksekusinya sukses. Contohnya seperti jumpscare sampai adegan yang cukup sadis terutama untuk standar film MCU yang ramah keluarga. Alhasil, Wanda bak makhluk beringas yang mengejar-ngejar Strange dan America layaknya karakter serial killer dalam film-film slasher. Gaya penyutradaan Sam Raimi juga masih terlihat khas di sini, mulai dari penyuguhan komedi yang gelap, pengambilan shot POV, horor yang absurd,serta transisi fade cut. Tidak berlebihan jika film ini dikatakan 10% formula MCU dan 90% formula Raimi.
Baca Juga: https://majalahketik.com/belajar-menerima-diri-dari-film-turning-red/
Karakter Penuh Emosional dan Sangat Memikat
Untuk karakter, dua protagonis utama film ini ditampilkan sangat baik, mulai dari Strange (Benedict Cumberbatch) sampai dengan America Chavez (Xochitl Gomez). Chemistry keduanya dijalin dengan apik, membuat penonton tidak akan kesulitan untuk menerka dan juga menjadi peduli latar belakang masing-masing serta hubungan kedua karakter tersebut. Namun, tanpa mengesampingkan keduanya, sorota utama dari film ini jelas adalah Wanda Maximoff sebagai Scarlet Witch yang diperankan sangat brilian oleh Elizabeth Olsen.
Mengambil latar setelah serial WandaVision (2021), film ini sukses menampilkan sisi lain dari karakter Wanda yang labil, tetapi juga mengerikan di saat yang bersamaan. Boleh jadi, Wanda merupakan salah satu villain paling gila dan kelam yang pernah ditampilkan waralaba Marvel Cinematic Universe sejauh ini. Tidak hanya dalam adegan aksi, Multiverse of Madness juga melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam menggali karakter tersebut melalui suguhan berbagai momen manis dan haru sepanjang film.
Dinamika hubungan Strange dan Wanda dalam film ini mungkin bukan berada dalam sisi yang sama, tetapi hubungan keduanya sangat emosional dan sama-sama mengundang empati karena mereka datang dengan egonya masing-masing. Maka dari itu, tak heran jika para penonton akan terbelah menjadi dua kubu ketika menonton film ini, apalagi mengingat mereka berdua sama-sama telah berkorban banyak dari peristiwa MCU sebelumnya.
Meskipun memiliki subjudul dengan kata “Madness” (gila) di akhirnya, film ini justru menawarkan resolusi lain, yakni arti kebahagiaan. Film ini mencoba memberikan arti bahagia dari perspektif berbagai karakter, seperti bagaimana cara mendapatkannya dan cara menerimanya. Mengharukan.
“I love you in every universe.”
Secara keseluruhan, Doctor Strange in the Multiverse of Madness mungkin bukan sajian yang akan memuaskan banyak penggemar, terutama bagi yang sudah terlanjur menaruh ekspektasi tinggi untuk film ini. Beberapa penonton mungkin datang untuk melihat cameo favorit mereka. Namun, lupakanlah hal tersebut. Elemen itu terkesan dilebih-lebihkan demi sebuah daya tarik yang justru hanya mengganggu esensi cerita dan kontuinitas konflik antara Strange dan Wanda.
Film ini mungkin tidak sempurna, akan ada beberapa orang yang kurang dapat menerima formula baru dari MCU kali ini. Ada yang menganggap bahwa film ini terlalu berlebihan, storytelling yang kurang optimal, atau terlalu bergantung pada produk MCU sebelumnya yang akan membuat penonton awam kebingungan. Terlepas dari kekurangannya, film ini tetap dapat dinikmati dan sangat out of the box jika dibandingkan dengan film pertamanya. Bisa disimpulkan bahwa akan ada banyak potensi yang bisa digali dan hal-hal baru dari waralaba MCU yang akan datang.
Akhir kata, I love you in every universe.
Bagaimana, Sobat Ketik? Tertarik untuk menonton film Doctor Strange in the Multiverse of Madness ini?
Penulis: Fathin Hilmi Muyassar
Editor: Hania Latifa