Women Empower Women At Work (WEWAW) memperingati lima tahun perjalanannya melalui Festival WE the WAW: WOMAN who MA5TER, yang digelar pada Minggu, 16 November 2025 di Menara Imperium, Jakarta. Jakarta menjadi lokasi puncak festival setelah sebelumnya digelar di Surabaya dan Bandung. Acara yang dihadiri mahasiswa hingga perempuan muda profesional ini menjadi ruang belajar bersama tentang pengembangan diri, terutama dalam menaklukkan dunia kerja dan tekanan quarter life crisis.
Perayaan ini sekaligus menandai transformasi WEWAW dari komunitas menjadi yayasan resmi yang berfokus menyediakan ruang aman bagi perempuan muda dalam proses pencarian jati diri. Melalui festival ini, WEWAW menegaskan kembali komitmennya memberdayakan WowGirls, segmen perempuan berusia 18–27 tahun yang kerap menghadapi tekanan digital. Selama lima tahun, WEWAW konsisten membangun ekosistem edukasi, kolaborasi, dan pendampingan, sehingga festival ini tidak hanya menjadi ajang selebrasi, tetapi juga momentum refleksi dan penguatan kapasitas perempuan muda.
Dalam sambutannya, Founder WEWAW, Jessica Carla, menegaskan bahwa perempuan masih sering dibatasi oleh stigma lama seperti hanya berperan di ‘sumur, kasur, dapur’ padahal perempuan memiliki potensi besar untuk berkarya dan maju di dunia profesional. Ia menekankan pentingnya ruang aman yang memberi akses, dukungan, serta kesempatan agar perempuan dapat membangun kepercayaan diri dan berkembang tanpa takut terhadap dinamika peran ganda yang mungkin harus mereka jalani.
“WEWAW hadir untuk menciptakan ruang di mana perempuan muda merasa didukung, dibimbing, dan diberi kesempatan untuk tumbuh,” ujar Carla.
Tahun 2025 sekaligus menjadi titik akhir WE the WAW dengan tema Women Who MA5TER, yang menurut Jessica dipilih untuk membekali WowGirls dengan tiga fondasi utama memasuki dunia kerja, yaitu growth mindset, personal branding, serta kemampuan kolaborasi. Ia menegaskan bahwa tujuan besar WEWAW adalah memastikan perempuan muda memiliki modal yang kuat untuk menavigasi dunia kerja dengan percaya diri dan berkelanjutan.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi materi dari dua narasumber, yaitu Nessia Ragil dan Hety A. Nurcahyarini. Keduanya menyampaikan perspektif yang relevan dengan tantangan perempuan muda saat ini, terutama dalam menavigasi perubahan cepat di era digital.
Dalam pemaparannya, Nessia Ragil yang membahas pentingnya membangun personal branding. Ia menegaskan bahwa personal branding tidak sama dengan pencitraan, karena harus mencerminkan kredibilitas berupa skill, pengalaman, etika kerja, dan konsistensi jangka panjang. Menurutnya, banyak orang tampak meyakinkan di media sosial, namun tidak menunjukkan sikap profesional saat bekerja, sehingga citra yang ditampilkan hanya bersifat semu.
“Personal branding itu bukan pencitraan. Ia harus berbasis skill dan pengalaman nyata. Kalau online terlihat ahli, tapi ketika bekerja etikanya buruk atau komunikasinya tidak baik, itu pencitraan,” ujarnya.
Nessia menambahkan bahwa pencitraan hanya mengejar ketertarikan publik, mengikuti tren, dan bersifat sesaat. Sementara personal branding adalah proses jangka panjang untuk menyampaikan siapa diri kita sebenarnya, sehingga peluang yang datang sesuai dengan kompetensi dan nilai yang dimiliki.
Narasumber kedua, Hety A. Nurcahyarini, menyebutkan tekanan standar industri dan label sosial yang sering membuat perempuan merasa harus selalu “sempurna”. Ia menegaskan bahwa kekuatan perempuan justru muncul ketika mereka memahami kapasitas diri dan mampu membawakan diri secara autentik. Hety menjelaskan bahwa personal branding bukan pencitraan, tetapi proses konsisten menampilkan nilai dan potensi diri, bukan mengikuti tren, bukan pula membangun citra yang berbeda antara online dan dunia nyata.
“Saat ini dunia profesional bukan hanya menilai kompetensi, tetapi juga autentik presence, bagaimana kita membawakan diri dengan jujur dan konsisten tanpa kehilangan keaslian,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa banjir konten branding sering membuat orang tampil seragam dan kehilangan arah. Karena itu, ia mendorong perempuan untuk membangun narasi diri berdasarkan pengalaman nyata, menjaga keseimbangan antara strategi presence dan authenticity, serta tidak terjebak FOMO maupun standar digital yang menekan.
Dari sisi peserta, Jessica Cally, mahasiswa Hukum semester lima, mengaku merasakan atmosfer yang sangat berbeda dari kesehariannya di lingkungan akademik yang menuntut respons cepat dan penuh detail. Menurutnya, festival ini menghadirkan ruang belajar yang jauh lebih tenang, suportif, dan tidak terburu-buru sehingga membuat peserta dapat mencerna materi dengan lebih nyaman.
“Biasanya lingkungan aku menuntut jawaban detail dan cepat, tapi di sini semuanya lebih easy dan nggak inrush, jadi aku bisa mikir dengan tenang,” ujarnya.
Jessica menilai materi para narasumber sangat relevan untuk pengembangan diri jangka panjang dan ingin menerapkannya sebagai bagian dari proses membangun kapasitas diri secara berkelanjutan. Ia juga berharap WEWAW dapat terus berkembang dan memberikan dampak positif bagi lebih banyak perempuan muda, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Melalui rangkaian materi, exercise, dan diskusi antar peserta, Festival WE the WAW: WOMAN who MA5TER hadir sebagai ruang yang mempertemukan perempuan muda untuk saling belajar, menguatkan, dan membangun perspektif baru tentang autentisitas diri di era digital. Dengan transformasinya menjadi yayasan, WEWAW berharap dapat menjangkau lebih banyak WowGirls dan menjadi ekosistem yang terus menumbuhkan perempuan muda agar berdaya, percaya diri, dan siap menghadapi berbagai tantangan di dunia kerja maupun kehidupan personal.
Teks : Nasywa Davina S.K.
Editor : Sabda Maulana