Majalahketik.com(5/04.21) – Menghadirkan pendidikan vokasi yang mapan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan dan pola yang perlu ditransformasi. Jika tidak, orangtua yang memiliki anak yang duduk di bangku SMP lebih memilih melanjutkan ke SMA ketimbang SMK, dan siswa SMA lebih memilih masuk ke kampus umum ketimbang kampus vokasi.
Ada sebuah stereotip, bahwa mereka yang masuk SMK merupakan “buangan” karena tidak diterima di SMA, dan mengakar kuat di masyarakat. Serta adanya humor yang kurang baik seperti, ‘masuk ke SMK itu bagus bagi anaknya orang lain, bukan anaknya sendiri’. Sindiran ini dihadapi mereka yang masuk kampus vokasi, hanya karena tidak diterima di akademik. Namun faktanya, di negara-negara maju pendidikan vokasi sangat diminati. Pertimbangan orangtua lebih kepada minat bakat siswa dan peluang kerja yang lebih besar.
Pada pemerintah daerah sendiri, harusnya mampu mengidentifikasi potensi daerahnya agar bisa dikembangkan dan disesuaikan dengan kurikulum dan industri yang ada di daerah tersebut. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Krishnamurti juga menilai bahwa pengembangan pendidikan vokasi masih menemui banyak hambatan, seperti kurangnya fasilitas penunjang, tempat praktik, dan juga laboratorium. Kurangnya fasilitas menyebabkan para mahasiswa yang menempuh pendidikan vokasi tidak memiliki cukup sarana untuk mengembangkan keahliannya dan sulit mengikuti perkembangan industri.
Baca Juga: https://majalahketik.com/keuntungan-mahasiswa-kuliah-sambil-kerja/
Permasalahan pendidikan vokasi sejak dulu masih berputar pada lingkaran yang sama, yaitu lulusannya kurang kompetitif dan sulit mencari pekerjaan. Baik pada level sekolah (SMK) maupun kampus vokasi, seperti politeknik, universitas (vokasi), institut, sekolah tinggi, dan akademik. Negara Jerman berhasil mengoptimalkan fungsi sekolah vokasi (berufsschule), dengan menerapkan model dual system, yang hasilnya mereka memiliki jumlah pengangguran paling sedikit di benua Eropa. Banyaknya perusahaan dilibatkan dengan menerapkan model pendidikan ini sebagai bentuk kolaborasi ideal triple helix antara sekolah, pemerintah, dan industri. Bahkan saat ini masuk ke arah penta helix dengan menambahkan komunitas/masyarakat dan media.
Link and match serta tantangan
Proses link and match antara satuan pendidikan vokasi (sekolah/kampus vokasi) dan industri memang masih menjadi pekerjaan rumah. Ini menjadi alasan kuat mengapa industri enggan menerima lulusan dari pendidikan vokasi. Selama ini kurikulum, proses ajar, praktik kerja industri (prakerin), hingga penilaian masih berpusat pada satuan pendidikan vokasi. Industri masih belum dilibatkan secara optimal, yang seakan pendidikan vokasi dan industri berdiri secara sendiri-sendiri.
Seharusnya industri dapat dilibatkan sejak awal, dari penyusunan kurikulum bersama, ahli dari industri terjun mengajar, sertifikasi kompetensi berbasis industri, kolaborasi riset, mengadakan program pelatihan keterampilan ulang (upskiling), dan peningkatan keterampilan (reskilling) agar menjadi adaptif, penyesuaian alat laboratorium, project based learning sesuai kebutuhan industri, hingga komitmen bersama dalam menyerap lulusan pendidikan vokasi. Dengan berjalannya skema link and match dari hulu ke hilir, maka sebenarnya yang sangat diuntungkan ialah industri itu sendiri. Mereka akan mendapatkan talenta-talenta terampil yang memiliki hard skill, soft skill, dan karakter yang kuat.
Pada akhirnya, kita tetap berharap adanya transformasi yang dilakukan saat ini menjadi sebuah titik balik pendidikan vokasi di Indonesia dalam memasuki tahun 2021. Pendidikan vokasi kuat menjadi kunci dalam memajukan Indonesia.
Note: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis. Segala tulisan adalah tanggung jawab penulis.
Jurnalis : Ishmah Zakiyyah
Editor: Ratih Rachma Juwita